Rabu, 22 Februari 2012

PRODUK MINERAL: Aneka Tambang genjot 5 fasilitas pengolahan senilai US$3,6 miliar

Large_batu_bara__41_ 
JAKARTA: PT Aneka Tambang (Persero) Tbk sedang menggenjot lima pembangunan fasilitas pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah produk mineral yang ditargetkan beroperasi komersial pada 2014.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, BUMN tambang itu akan membangun fasilitas pengolahan produk mineral mulai dari bijih bauksit menjadi chemical grade alumina, bijih bauksit menjadi smelter grade alumina, bijih nikel menjadi ferronikel, bijih nikel menjadi nikel pig iron, serta bijih besi menjadi sponge iron (besi spons).

Proyek pembangunan fasilitas pengolahan tersebut ada yang digarap oleh Antam sendiri, ada juga yang digarap bersama partner. Pertama, Antam akan menggarap sendiri proyek pengolahan bijih nikel menjadi ferronikel berkapasitas 27.000 ton per tahun senilai US$1,6 miliar di Halmahera, Maluku Utara.

Kedua, Antam juga akan menggarap sendiri proyek pengolahan bijih nikel menjadi nikel pig iron berkapasitas 120.000 ton per tahun senilai US$350—US$400 juta di Mandiodo, Sulawesi Tenggara.

Selain itu, Antam juga akan menggarap sendiri proyek pengolahan bijih bauksit menjadi smelting grade alumina berkapasitas 1 juta ton per tahun senilai US$1 miliar di Mempawah, Kalimantan Barat.

Untuk proyek pengolahan bijih bauksit menjadi chemical grade alumina berkapasitas 300.000 ton per tahun senilai US$450 juta di Tayan, Kalimantan Barat, Antam (80%) menggarapnya bersama Showa Denko (20%), perusahaan asal Jepang. Keduanya lalu membentuk PT Indonesia Chemical Alumina (ICA).

Selanjutnya, untuk proyek pengolahan bijih besi menjadi besi spons berkapasitas 315.000 ton per tahun senilai US$150 juta di Batu Licin, Kalsel, Antam (34%) menggarapnya bersama PT Krakatau Steel (66%) dan membentuk perusahaan patungan Meratus Jaya Iron & Steel.

Selain kelima fasilitas pengolahan tersebut, Antam juga diketahui terlibat dalam proyek pengolahan bijih nikel menjadi nikel hidroksida berkapasitas 60.000 ton per tahun di Weda, Maluku Utara.

Kepemilikan total di PT Weda Bay Nickel saat ini terdiri dari Antam 10%, Eramet Group (perusahaan asal Prancis) 60% dan Mitsubishi 30%. Fasilitas pengolahan senilai US$6 miliar tersebut ditargetkan beroperasi pada 2016.

Selain itu, Antam juga sedang mengkaji pembangunan fasilitas pengolahan emas, perak dan lainnya berkapasitas 2.000 ton per tahun di Gresik, Jawa Timur. Namun berdasarkan kajian, status 2012 adalah proyek tersebut tidak ekonomis karena adanya kewajiban membayar PPN sebesar 10%. Saat ini kelanjutan proyek ini belum jelas.

Secara total berdasarkan data Kementerian ESDM, terdapat 19 pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah produk mineral dan batu bara. Sebanyak 10 fasilitas pengolahan diantaranya, ditargetkan beroperasi pada 2014.

19 Proposal 
Dirjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan hingga saat ini pemerintah baru menerima 19 proposal peningkatan nilai tambah melalui pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian.

Kesembilanbelas proposal tersebut diantaranya berasal dari PT Antam Tbk, PT Vale Indonesia Tbk (dulu PT Inco Tbk), PT Dairi Prima Mineral, PT Pendopo, PT Agincourt Resources, dan PT Timah Tbk.

Meski demikian, Thamrin menegaskan peningkatan nilai tambah baik mineral maupun batu bara bisa dilakukan dengan hal lain, tidak mesti membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian.

Hal itu tertuang dalam Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Dalam Permen tersebut disebutkan, jika pemegang IUP Operasi Produksi tidak ekonomis untuk melakukan sendiri pengolahan dan/atau pemurnian, dia bisa melakukan kerja sama pengolahan dan/atau pemurnian dengan pihak lain.

Kerja sama tersebut bisa berupa jual beli bijih atau konsentrat, kegiatan untuk melakukan proses pengolahan dan/atau pemurnian, atau pembangunan bersama sarana dan prasarana pengolahan dan/atau pemurnian. Rencana kerja sama tersebut hanya bisa dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM.

Selain itu, pemegang IUP Operasi Produksi juga bisa bermitra dengan badan usaha lain untuk membangun fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian. Kemitraan tersebut bisa berupa kepemilikan saham, namun kemitraan tersebut hanya bisa dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM.

Jika dia tidak bisa melakukan sendiri pengolahan dan/atau pemurnian, tidak bisa bekerjasama, atau bermitra, maka pemegang IUP Operasi Produksi harus berkonsultasi dengan Dirjen Minerba untuk melaksanakan Permen ini.

Pemerintah, lanjut Thamrin, memberi waktu hingga 3 bulan kepada seluruh pemegang IUP Operasi Produksi agar menyerahkan proposal rencana produksi jangka panjang dan rencana peningkatan nilai tambah mineral.

Dirjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan jika proposal itu tidak diserahkan, pemerintah akan menghentikan ekspor mineral mentah yang mereka lakukan.

“Kalau ngga punya rencana, nanti distop dulu ekspornya,” ujar Thamrin.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association/IMA) Syahrir AB mengatakan perusahaan tambang memang sudah seharusnya bersiap-siap sejak UU Minerba diterbitkan pada 2009.

“Itu kan pemberitahuannya sudah sejak 2009, sejak UU Minerba diterbitkan. Kalau ngga siap, ya salah perusahaannya. Kami mendukung pemerintah, Permen itu sudah cantik sekali,” ujar Syahrir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar