Rabu, 15 Februari 2012

ARAH BISNIS & POLITIK 2012: Menggiring pemilik aset ‘pulang kandang’

Large_img_2676
JAKARTA: Sosok Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia Airlangga Hartarto yang biasanya tenang dan cenderung kalem, kali itu agak berbeda. Meskipun sesekali tertawa, beberapa kritikan tajam sempat terlontar dari mulutnya.
 
“Kita wajibkan saja, ini kan negara kita. Jangan sampai kita kena dampak lingkungannya, biaya produksinya, tetapi capital gain-nya di luar negeri. Itu namanya tidak adil,” protesnya kala itu.
 
Apa sebenarnya yang membuat pria berusia 49 tahun itu geram? Rupanya, dia mengkritik beberapa perusahaan komoditas yang berbasis di Indonesia, tetapi lebih memilih untuk mencatatkan sahamnya di luar negeri.
 
Ironis memang, bahwa beberapa perusahaan asing dengan aset besar di Indonesia justru mencari capital gain dengan mencatatkan sahamnya di bursa luar negeri, seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan PT Wilmar International Plantation.
 
Freeport Indonesia yang merupakan bagian dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat, dan Newmont telah tercatat di New York Stock Exchange. Sementara itu, Wilmar Plantations saat ini tercatat di Singapore Stock Exchange.
Dari sejumlah perusahaan asing yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia, hanya segelintir yang mau mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia, diantaranya PT International Nickel Indonesia Tbk, PT Indo Tambangraya Megah Tbk, dan PT Bayan Resources Tbk.
 
Tak hanya itu, beberapa perusahaan CPO yang dimiliki oleh keluarga kaya di Indonesia seperti Global Palm Resources Holdings Ltd, yang dimiliki oleh keluarga Adijanto, dan First Resources Ltd, yang dikendalikan oleh keluarga Ciliandra Fangiono, lebih memilih mencatatkan saham di bursa saham Singapura. 
 
Keluarga Adijanto mengendalikan perusahaan batu bara PT Resource Alam Indonesia Tbk yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan keluarga Fangiono mengendalikan PT Ciliandra Perkasa.
 
TMR Ltd, anak perusahaan produsen tambang timah PT Tenaga Anugerah, juga memilih listing di bursa saham Malaysia. Pemegang saham TMR adalah Eko Wijaya Persito, putra dari Hendry Parsito, dulunya direktur di PT Sarana Marindo.
 
Samko Timber Ltd, perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan kayu, juga menjatuhkan pilihannya pada bursa saham Singapura. Samko adalah perusahaan patungan antara keluarga Sampoerna dan keluarga Amir Sunarko, pendiri PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. 
Keluarga Sampoerna melalui Forestry Limited memiliki 42% di Samko Timber. 
 
Perusahaan yang tercatat di bursa Australia, Indo Mines Ltd, yang baru saja 19,9% sahamnya dibeli oleh konglomerat Peter Sondakh, juga memiliki proyek tambang bijih besi di Jawa Tengah melalui PT Jogja Magasa Iron. 
 
Straits Asia Resources Ltd, yang memiliki tambang batu bara di Kalimantan, juga mencatatkan saham di bursa Singapore. 
Perusahaan yang tercatat di bursa London, Churcill Mining Plc, juga menguasai aset batu bara di Kutai Timur, Kalimantan. Selain itu ada M.P. Evans Group Plc, perusahaan CPO yang tercatat di bursa London, juga menguasai 9.400 perkebunan sawit di Sumatra, Kalimantan, dan Bangka.
 
Wajar jika Airlangga geram. Tak hanya kali itu dia menyuarakan agar perusahaan-perusahaan berbasis sumber daya mineral (resources) asing yang memiliki aset di Indonesia mau mencatatkan sahamnya di BEI. Namun, hingga kini harapannya itu belum juga terwujud.
 
Kontribusi besar
Bukan karena masalah keadilan semata, menurut Airlangga, apabila perusahaan-perusahaan itu mau mencatatkan sahamnya di BEI, kontribusinya akan sangat besar bagi perkembangan pasar modal Indonesia, terutama bagi peningkatan kapitalisasi pasar.
 
Saat ini, dia menuturkan nilai kapitalisasi pasar BEI baru sekitar 50% dari produk domestik bruto (PDB), sehingga Indonesia masih sulit bersaing dengan bursa luar, seperti Hong Kong dan Singapura yang tingkat kapitalisasi pasarnya lebih dari 100% PDB.
 
Direktur Utama BEI Ito Warsito sempat mengatakan kalau Newmont akan segera masuk BEI pada akhir tahun ini, disusul oleh Freeport. Namun, hingga akhir tahun, Newmont belum juga menggelar penawaran saham perdananya (IPO) di Indonesia.
 
Padahal, ketika itu Ito mengatakan pemerintah dapat mengumpulkan dana hingga Rp2 triliun apabila Newmont merealisasikan IPO. Pasalnya, pada pertengahan tahun ini, pemerintah pusat telah mengantongi 7% saham Newmont dengan menggelontorkan dana US$246 juta.
 
Sementara itu, tuturnya, Freeport Indonesia diperkirakan juga akan memberikan kontribusi besar bagi pasar modal Indonesia apabila tercatat di BEI, mengingat perusahaan tersebut menyumbang hingga 60% terhadap total pendapatan induk usahanya di AS.
 
Sebenarnya, salah satu cara yang paling efektif untuk membuat perusahaan-perusahaan tersebut masuk BEI adalah memaksanya melalui pembentukan regulasi yang mewajibkan dual listing bagi perusahaan asing di Indonesia.
 
Menurut Airlangga, selama ini yang menjadi kendala minimnya perusahaan resources asing yang mencatatkan saham di Indonesia adalah tidak adanya kemauan dari perusahaan yang bersangkutan.
 
Regulasi bersifat mandatory
Dia mengungkapkan pemerintah seharusnya dapat membentuk regulasi yang bersifat mandatory bagi perusahaan-perusahaan komoditas yang mencatatkan sahamnya di luar negeri untuk memajukan pasar modal Indonesia.
 
Sektor komoditas merupakan salah satu industri yang menyumbangkan kapitalisasi pasar terbesar di pasar modal, mengingat sektor ini masih potensial sebagai tujuan investasi, meskipun agak tertekan akibat krisis ekonomi global.
 
Semakin banyak perusahaan resources yang tercatat di BEI, apa lagi jika perusahaan tersebut memiliki aset besar dan berkualitas seperti Freeport, Newmont, dan Wilmar Plantation, secara otomatis kapitalisasi pasar Indonesia akan semakin besar.
 
“Selain Newmont dan Freeport, yang masih eksplorasi ada beberapa yang tercatat di bursa luar, terutama di Toronto Stock Exchange dan Australia Stock Exchange. Oleh karena itu, konsep dual listing harus segera dipertegas,” paparnya.
 
Kepala Biro Penilai Keuangan Perusahaan Sektor Jasa Badan Pengawas Pasar Modal Gonthor R. Azis membenarkan bahwa saat ini memang belum ada peraturan yang mewajibkan perusahaan Indonesia yang tercatat di luar untuk melakukan dual listing di dalam negeri.
 
Bapepam, tuturnya saat ini masih berkonsentrasi untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rencananya, dia mengatakan pada 2012 Bapepam baru akan fokus pada UU sektoral, termasuk diantaranya peraturan dual listing.
 
Agaknya, peraturan dual listing akan menambah daftar panjang pekerjaan rumah Bapepam-LK yang dinantikan pelaku pasar pada tahun depan. Sebaiknya, tak perlu bersikap pesimis, karena tahun baru juga berarti harapan baru bukan? (bunga.kusuma@bisnis.co.id/wisnu.wijaya@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar