Senin, 27 Februari 2012

Batubara, Bijih Besi, dan Nikel Bikin Jengkel

Rabu, 22 Februari 2012 | 03:50 WIB 
Lukas Adi Prasetyo, M Final Daeng, dan Jean Rizal Layuck
Di mata korporasi pertambangan, kandungan batubara, bijih besi, dan nikel di perut bumi Nusantara amat menjanjikan. Sebaliknya, bagi warga setempat, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi justru mengancam penghidupan mereka.
Sekitar 20 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Rejeki di Kelurahan Lempake, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, kini merasakan pahitnya dampak tambang batubara. Bertahun-tahun dikenal sebagai daerah penghasil ikan lele, daerah itu tinggal kenangan.
Tarwono (62), Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki, masih ingat kejadian banjir lumpur akibat jebolnya tanggul tambang di kampung itu pada 4 November 2008. Ratusan petak kolam lele yang siap panen jadi tercemar.
Kerugian Tarwono saat itu Rp 35 juta setelah 9 kolam lelenya terisi lumpur. Padahal saat itu harga lele sedang bagus-bagusnya. Dalam sebulan, ia bisa memproduksi hingga 400 kuintal lele untuk dipasok ke Kota Bontang. Omzet per bulan bisa mencapai Rp 10 juta.
”Begitu kolam kebanjiran, kisah itu langsung berbalik. Kami trauma memulai usaha,” ujar Tarwono.
Maklum, kampung ini dikepung tiga lokasi tambang. Dengan kondisi tanah yang lebih rendah, hujan deras sejam saja Lempake sudah banjir lumpur bercampur limbah tambang.
Kota Samarinda, ibu kota Provinsi Kaltim, adalah contoh nyata sebuah kota yang panen masalah akibat tambang. Sekitar 71 persen dari 718 kilometer persegi (718 hektar) luas kota Samarinda, sudah masuk konsesi tambang. Dari 71 persen itu, menurut estimasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, 40 persen sudah ditambang.
Daerah Kaltim lainnya yang juga dilanda masalah lingkungan akibat tambang batubara adalah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Bahkan di Samboja, salah satu kecamatan di Kukar, terdata 91 izin kuasa pertambangan. Tambang yang bermunculan sejak 2003, kini mendatangkan gelombang masalah bagi warga sekitar.
Ratusan petani di Samboja sudah merasakan ketika awal Januari lalu ratusan sawah dan kolam ikan mereka kebanjiran. Kerugian ditaksir miliaran rupiah. Warga menduga banjir terjadi karena daerah mereka terkepung tambang. Di Kelurahan Sungai Merdeka, misalnya, tiga tambang batubara mengepung.
Jarak sawah dan kolam warga dengan areal tambang di Sungai Merdeka hanya 1-3 km. ”Lahan hijau berganti jadi tambang. Kawasan resapan air terampas. Sungai tak lagi sanggup menampung air sehingga akhirnya meluber ke permukiman,” ujar Farida Hanum, Ketua Gabungan Kelompok Tani Maju Bersama, Samboja.
Di Kaltim terdapat 1.271 izin pertambangan batubara skala kuasa pertambangan (KP) dan 33 izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Total luasannya mencapai 4,4 juta hektar. Sebagai perbandingan, luas negara Swiss 4,1 juta hektar, dan luas Provinsi Kalimantan Selatan 3,7 hektar.
Laut jadi rusak
Bagi warga Desa Hakatutobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, masa sebelum maraknya pertambangan nikel di wilayah itu sungguh indah. Di laut yang menjadi ”halaman” desa pesisir tersebut kehidupan bersemi. Rumput laut subur, ikan pun melimpah.
Namun, kisah indah itu tinggal kenangan sejak 2008, perairan di desa yang dihuni sekitar 200 keluarga itu tercemar endapan lumpur berwarna coklat. Budidaya rumput laut dan sebagai sumber nafkah pupus.
Saat hujan, material tanah hasil penambangan di wilayah perbukitan hulu Hakatutobu menggelontor ke pesisir. Begitu pun material tanah dari aktivitas pelabuhan nikel di pantai.
Sebagian permukiman di desa itu dibangun di atas laut dengan model rumah panggung. H Udin (54), salah satu tokoh masyarakat Hakatutobu yang ditemui, mengatakan, pencemaran membuat kebanyakan warga beralih menjadi buruh kasar di perusahaan-perusahaan tambang nikel. Upah pekerja kasar pertambangan berkisar Rp 50.000 per hari.
Udin sendiri kehilangan usaha rumput laut seluas 5 hektar miliknya akibat pencemaran itu. ”Padahal dulu sekali panen dalam sebulan bisa dapat penghasilan Rp 10 juta,” ujarnya.
Makmur (36), nelayan Hakatutobu, mengatakan, dulu ia cukup mendayung-dayung di perairan sekitar desa dan bisa membawa pulang 10 tusuk ikan.
Sejak pesisir tercemar, ia harus berlayar setidaknya setengah jam ke laut lepas dengan konsekuensi mengeluarkan biaya bahan bakar setidaknya 5 liter sekali melaut.
Desa Tambea, desa lain di pesisir Pomalaa yang tak jauh dari Hakatutobu, juga mengalami nasib serupa. Syarief (50), salah satu warga yang dulunya pengumpul teripang dan ikan mengenang sebelum perairan di desanya keruh, ia bisa mendapat 30-40 tusuk ikan sekali melaut.
”Sekarang bisa dapat 1-2 tusuk saja sudah bagus. Dulu kami menjual ikan, sekarang membeli ikan,” katanya.
Bangka terancam
Kegundahan juga membekap warga Pulau Bangka di perairan Bitung, Sulawesi Utara, menyusul hadirnya alat-alat berat pengeruk bijih besi di area itu, setahun terakhir.
”Kami terancam diusir dari sini,” tutur Tinehas Lomobanaung (62) dan Wiliam Hadinaung (60), warga setempat.
Tinehas lalu menunjuk sejumlah kawasan di atas gunung di Pulau Bangka yang sudah dibongkar oleh investor. Sejumlah alat berat sudah siap.
Kegelisahan warga Pulau Bangka terpantik setelah bupati memperbarui izin usaha pertambangan bijih besi tahun 2010 dari lahan seluas 1.300 hektar menjadi 2.000 hektar. Padahal luas Pulau Bangka sendiri hanya 3.319 hektar. Pulau berpasir putih terletak di ujung utara Likupang ini dihuni 10.000 penduduk yang umumnya nelayan.
Menurut pengamat wisata laut Angelina Batuna, Pulau Bangka sangat eksotis sebagai pulau pariwisata. Di sini hidup Tarcius spectrum, primata terkecil di dunia. Pulau Bangka merupakan kawasan segitiga ekologi laut yang harus dilindungi, mencakup Pulau Bangka, Lembeh, dan Bunaken. ”Bila Pulau Bangka rusak, maka Bunaken dan Lembeh terancam rusak,” katanya.
Bupati Minahasa Utara Sompie Singal berdalih izin usaha pertambangan bijih besi diberikan kepada PT Mikgro Metal Perdana (MMP) yang didanai konsorsium Aempire Resource asal Hongkong masih tahap penelitian.
Apabila penelitian selesai, dilanjutkan dengan eksploitasi pertambangan bijih besi yang memberi kesejahteraan masyarakat di sana. ”Pendapatan asli daerah ini hanya Rp 20 juta per bulan. Dengan hadirnya investor, angka itu bisa berlipat ganda,” katanya.
Publikasi Konsorsium Aempire Resource melalui website 2011 menyebut eksploitasi bijih besi dilakukan selama dua tahun, dari 2012-2013, dengan total investasi 6.000 juta dollar AS (sekitar Rp 5 triliun) dengan deposit bijih besi sekitar 4 juta ton. Bijih besi jadi bahan baku peralatan militer, seperti tank.
William Hadinaung, tokoh masyarakat setempat, menuding bupati membela investor. ”Kami gelisah karena dalam proposal investor, Desa Kahuku akan direlokasi ke kawasan mangrove,” katanya.
Jika investor dan penguasa menghalalkan segala dalih, rakyat mau di bawa ke mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar