Minggu, 19 Februari 2012

HARGA NIKEL: Melonjak karena regulasi RI membingungkan

Large_dsc_3956                            JAKARTA: Harga nikel dunia bersiap melonjak berlipat setelah Indonesia sebagai salah satu pemasok terbesar nikel mengeluarkan regulasi yang membuat para pemain bisnis tambang mineral dilingkupi ketidakpastian.

Hingga akhir pekan lalu harga saham raksasa nikel dunia, Jinchuan Group International Resources Co meloncat hingga 30% akibat menguatnya spekulasi pelarangan impor bahan mentah nikel pada Mei oleh pemerintah Indonesia di tengah melonjaknya kebutuhan nikel industri stainless-steel China.

Menurut Wang Haoyang, analis SMM Information & Technology Co., harga saham Jinchuan naik setelah munculnya spekulasi pelarangan bijih laterit per 7 Mei. Bijih laterit nikel adalah bahan utama tambahan pembuatan baja tahan karat (stainless-steel), seperti dikutip dari laman ferroalloynet.com.

Pada kesempatan terpisah Wang Lixin, analis dan peneliti Custeel.com menyatakan China kini bersiap melirik potensi impor di luar Indonesia. Dia mencatat tahun lalu China mengimpor 20,6 metrik ton bijih nikel dari Indonesia (kadar 1,5-2,1%) atau 53% dari seluruh kebutuhan negeri
tersebut.

Marulam C.Sianipar, Direktur Utama PT Beta Mineral Indonesia (Bemindo) yang memiliki tambang di Sulawesi Tenggara tidak membantah adanya kesimpang-siuran informasi yang dipicu Peraturan Menteri ESDM No 07/2012 tentang peningkatan nilai tambah mineral.

Spekulasi muncul akibat adanya tumpang tindih antara UU Minerba no 4 tahun 2009 dengan Permen yang baru diteken Menteri ESDM Jero Wacik pada 6 Februari lalu.

Dalam pasal 170 UU Minerba no 4 tahun 2009 dikatakan "Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat- lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

Sementara bunyi dalam pasal 21 permen no 7 tahun 2012 dinyatakan "Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini"

“Kami pemain nikel cukup bingung dengan aturan ini. Begitu mendengar adanya permen ini, China langsung mempersiapkan diri membeli dari tempat lain. Padahal tahun lalu Indonesia mengekspor 95% dari seluruh produksi bijih nikel ke China,” ujarnya.

Salah satu sumber bijih nikel yang kembali dilirik China adalah Filipina Selatan yang sempat ditinggalkan karena persoalan keamanan. “Jika harga bijih nikel kadar 1,8% benar-benar melonjak sampai US$100 per WMT, pasti China akan kembali ke Moro (Filipina Selatan).”

Diketahui selain Indonesia, China mengimpor bijih nikel dari Filipina, Rusia, Australia dan Kaledonia Baru. Sementara itu China juga tengah mempercepat pembangunan pusat tambang dan pengolahan nikel di Mongolia yang bisa menghasilkan 39,8 metrik ton bijih nikel.

Demi proyek Mongolia, China melalui perusahaan pelat merah Baotou Steel Rare-Earth (Group) Hi-Tech Co. membangun 10 fasilitas gudang mineral di daerah Baotou, dekat perbatasan Mongolia yang mampu menampung 100 ribu metrik ton.

Selain China dan India sebagai raksasa stainless steel, Korea Selatan diketahui aktif memburu bijih nikel demi memenuhi kebutuhan metal mereka.

Tahun lalu Pohang Iron and Steel Company (Posco), produsen stainless steel terbesar nomor dua di dunia menanamkan tak kurang US$448 juta untuk membangun unit pemurnian nikel di Gwangyang, Korea Selatan dengan pemasok bahan baku dari Kaledonia Baru, Societe Nickel de Nouvelle-Caledonie et Coree untuk memenuhi target produksi 54.000 metrik ton pada 2014.

Seperti dikutip dari Bloomberg, kebutuhan stainless steel melonjak seiring peningkatan produksi mobil dan pembangunan infrastruktur. Bagi produsen baja anti karat, nikel menyedot hampir 60% biaya pembuatan stainless steel.(api)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar