Minggu, 19 Februari 2012

PERMEN ESDM NO. 7/2012: Larangan penjualan bijih mineral dipertanyakan

Large_dsc_3953                            PONTIANAK: Kadin Kalimantan Barat mempertanyakan larangan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi untuk menjual bijih mineral ke luar negeri yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.7/2012, karena meresahkan para pelaku usaha di wilayah ini.

Ketua Kadin Kalimantan Barat (Kalbar) Santyoso Tio mempertanyakan Permen ESDM No.7/2012 terutama menyangkut Pasal 21 yang melarang Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi untuk menjual bijih mineral keluar negeri paling lambat 3 bulan sejak diberlakukannya peraturan menteri tersebut per 6 Februari 2012.

“Akibat Permen ESDM tersebut meresahkan pelaku usaha yang khususnya selama ini bergerak dalam bidang pertambangan bauksit, bijih besi dan zikron khususnya yang berada di Kalbar,” ujar Santyoso kepada Bisnis, hari ini.

Dia menjelaskan apabila Permen tersebut diberlakukan, semua kegiatan tambang akan berhenti dan menimbulkan dampak yang sangat mematikan bagi pengusaha tambang. Ini terutama yang berkaitan dengan kontrak jual beli, sewa kendaraan, sewa ponton, yang juga berakibat pada masalah kredit di bank yang sedang berjalan, dan tenaga kerja.

Dalam Permen ESDM No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral khususnya Bab IX Pasal 21 ketentuan peralihan disebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diterbitkan sebelum berlakunya peraturan menteri ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri, dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak peraturan diberlakukan.

Santyoso menjelaskan, selama ini pengusaha di sektor tambang bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada dalam IUP operasi produksi dan sesuai dengan UU Minerba No.4/2009 yang intinya masih memperbolehkan melakukan penjualan sampai 2014.

Untuk itu, kata Santyoso, sampai saat ini pengusaha sedang berupaya atau menambah investasi dan menambah unit pengolahan dalam meningkatkan nilai tambah mineral.

"Hampir semua hasil tambang yang dihasilkan di Kalbar bukan low material lagi, tapi sudah ada peningkatan mutu dan nilai jual," katanya.

Meski demikian, Santyoso mengakui, hasil produksi belum mencapai produk minimum yang dikehendaki dalam peraturan menteri tersebut, misal biji besi harus mencapai batas pemurnian 85% sampai 2014. Untuk mencapai batas pemurnian [pengolahan] dari saat ini sebesar 60% menjadi 85% atau bahkan 90%, lanjut Santyoso, tentu membutuhkan waktu untuk kajian investasi sesuai material yang tersedia dan nilai ekonomis yang terkait energi dan lahan.

"Kami sudah sepakati sesuai UU No.4/2009 yang diperbolehkan menjual sampai 2014, dan sesuai dengan UU tersebut tentu kami tentu  mempersiapkannya hingga menjual sampai bahan tambang jadi, tetapi kenapa tiba-tiba ada peraturan menteri itu," jelasnya.

Anehnya, kata Santyoso, bukan hanya Permen ESDM No.7/2012 itu saja yang jelas-jelas mengalahkan UU No 4/2009, tetapi Dinas ESDM di level provinsi tidak dilibatkan dalam membuat peraturan tersebut.

"Bahkan informasi adanya peraturan menteri tersebut tidak dikirimkan ke dinas dan asosiasi atau Kadin, malah kami dapat dari internet," ujarnya.

Santyoso mengatakan dengan terbitnya Permen ESDM itu menunjukkan kurangnya eksistensi pemerintah dalam menciptakan asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dunia usaha.

Adanya Permen itu, kata Santyoso, Kadin Kalbar bersama 20 pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan dan Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar akan membahasnya dan akan disampaikan ke Gubernur Kalbar untuk diteruskan ke Kementrian ESDM.(api) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar