Jumat, 02 Maret 2012

REVIEW ENERGI: Renegosiasi tambang yang terus dinego

Large_sx206_4843_9
Masih teringat pelajaran semasa SD dulu, sesuai mandat Pasal 33 UUD 1945, sumber daya alam yang terkandung didalamnya harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
 
Indonesia seperti surga bagi investor pertambangan asing. Kilau emas kuning dan hitam (migas) sangat menarik perhatian para pengusaha tambang luar negeri untuk mengeruknya dari bumi Indonesia.
 
Data British Petroleum Statistical Review mengungkapkan penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan lokal.
 
Besarnya dominasi asing disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terlalu membuka lebar pintu investasi bagi investor asing di sektor strategis.
 
Berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi asing di sektor pertambangan sampai kuartal II-2011 mencapai US$1,51 atau 31,5% dari keseluruhan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar US$4,78 miliar.

 
Berkaca pada negara lain
Indonesia bisa belajar dari Norwegia yang mewajibkan transfer teknologi dalam 16 tahun sejak kesepakatan ditandatangani dan jangka waktu kontrak.
 
Hasilnya, Norwegia menjadi negara nomor satu dalam eksplorasi mineral dan pengeboran minyak dan gas di laut dalam.
 
Pertambangan energi RI sudah dikuasai perusahaan asing seperti Shell, Exxon Mobile, Petronas, Petro China, dan perusahaan asing lainnya.
 
Berbeda dengan di Venezuela, di mana kegiatan pertambangan emas di Negara itu resmi penuh menjadi milik negara.
 
Hal itu sehubungan dengan efektifnya undang-undang tentang nasionalisasi pertambangan emas sejak 19 September 2011.
 
Bolivia juga sudah melakukannya beberapa tahun lalu dan terbukti tidak membuat negara ini ditinggalkan para investor asing sebagaimana dikhawatirkan sebelumnya.
 
Untuk kasus terbaru di Venezuela, perusahaan asing yang sudah telanjur berbisnis tambang emas di Venezuela tetap bisa melanjutkan bisnis mereka. Akan tetapi, perusahaan asing itu kini diwajibkan untuk bermitra dengan negara.
 
Renegosiasi kontrak perlu
Angin segar menyapa masyarakat Indonesia ketika pemerintah melemparkan wacana untuk merenegosiasi kontrak karya pertambangan yang saat ini masih dikuasai asing pada pertengahan tahun lalu.
 
Namun, sudah hampir setahun hal itu dilemparkan, gregetnya sangat tidak terasa, bahkan gawatnya, Kementerian ESDM seakan tak punya nyali untuk merenegosiasi kontrak karya pertambangan asing besar.
 
Tercatat, dari 76 kontrak karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dan 42 kontrak karya (KK), baru 11 PKP2B dan empat KK yang telah menyetujui seluruh poin renegosiasi, dan 15 lainnya baru menyatakan kesiapannya menandatangani kontrak baru.
 
Meski pemerintah sudah membentuk Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sekali pun, pelaksanaan renegosiasi kontrak masih jalan di tempat.
 
Namun, kabar baik menyeruak saat Freeport sudah menyatakan kesiapannya melakukan renegosiasi kontrak karya, meski setelah melalui serangkaian negosiasi yang akhirnya disepakati bersama.
 
Memang benar sejak terbitnya Keputusan Presiden No.3 Tahun 2012 tanggal 10 Januari 2012 tentang Tim Evaluasi Untuk Penyesuaian KK dan PKP2B, Tim Evaluasi telah melakukan pembicaraan dengan beberapa perusahaan besar pertambangan mineral, dan batu bara guna mendapatkan kesediaan mereka melakukan renegosiasi, tapi hasilnya datar-datar saja.
 
Amanat UU No. 4/2009
Wacana Renegosiasi kontrak karya pertambangan menemukan gaungnya sejak pertengahan tahun lalu, tepatnya menjelang hari kebangkitan nasional 20 Mei 2011.
 
Sesuai dengan amanat UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, maka renegosiasi harus sudah selesai satu tahun sejak diundangkannya.
 
Telah lama Indonesia dikenal kaya akan barang tambang mineral, batu bara dan migas. Cadangan mineral Indonesia menempati peringkat ke enam dunia.
 
Sejak UU Minerba diratifikasi 2009 lalu, isu sektor pertambangan mencuat dan terekam publik terkait terutama masalah eksploitasi tambang dan investasi. Belakangan isu pertambangan yang kian santer muncul adalah masalah renegosiasi.
 
Sejatinya, UU Minerba baru ini bertujuan memperbaiki kondisi pertambangan yang selama ini diciptakan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pokok pertambangan.
 
Berdasarkan kedua undang-undang ini, terdapat perubahan sistem hak pertambangan menjadi sistem perizinan. Lainnya seperti: divestasi kepemilikan saham asing maksimal 80% setelah 5 tahun produksi; ketentuan harga tambang oleh pemerintah, pelarangan ekspor bahan tambang dalam bentuk mentah hingga pembaruan atau/bahkan penyelesaian kontrak karya sektor pertambangan.
 
Mengapa renegosiasi?
Alasan utama yang sering diusung pemerintah adalah berdasarkan produksi pertambangan selama ini, terdapat ketimpangan antara pendapatan negara dari sisi pajak dan royalti pertambangan dibanding dengan keuntungan perusahaan tambang itu sendiri.
 
Latar belakang renegosiasi oleh pemerintah kiranya menjadi dasar bagi arah masa depan terbaik untuk kesejahteraan masyarakat.
 
Tak dipungkiri bahwa politik ekonomi pertambangan (setidaknya) berkaitan dengan kedaulatan nasional dan masa depan Indonesia itu sendiri. Kehadiran perusahaan atau investor asing dalam sektor pertambangan beserta teknologi dan kemampuannya di satu sisi serta kemampuan negosiasi pemerintah yang cenderung lemah akan membawa bangsa Indonesia berada dalam keterpurukan kedaulatan.
 
Sektor strategis
Sebagai sektor usaha strategis, pertambangan menarik banyak kepentingan termasuk kepentingan politik. Meskipun pandangan ini masih dini, namun perhatian terhadap pemegang kekuasaan untuk 2014 sudah mulai berdengung.
 
Dengan momentum renegosiasi ini, boleh jadi menjembatani elite yang duduk di eksekutif maupun legislatif sudah mulai merapat dan mengatur strategi pemilu 2014. Salah satu moment yang dimanfaatkan adalah renegosiasi tambang.
 
Bagi seluruh negara, pertambangan berkontribusi pada aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi acuan utama. Dari sektor pertambangan, pemerintah mengklaim bahwa penerimaan negara sektor pertambangan rendah dikarenakan sedikitnya pajak dan royalti yang diterima.
 
Dengan merenegosiasi pertambangan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan hasil pendapatan khususnya sektor pertambangan. Renegosiasi ini merujuk pada penemuan keuntungan perusahaan lebih besar dibanding dengan penerimaan negara.
 
Kendala Freeport
Salah satu kendala proses renegosiasi secara menyeluruh adalah keengganan Freeport.
 
Kontrak Karya pada tahun 1991 yakni oleh Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia, karena didapati bahwa pembayaran Royalti emas yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebesar 1%, sementara itu Pemerintah Indonesia pada tahun 2003 mengeluarkan beleid Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2003 tentang Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di kementerian ESDM.
 
Dalam PP 45/2003 tersebut diatur besaran royalti yang harus dibayarkan oleh para kontraktor pertambangan adalah sebesar 3,75%, lebih tinggi dari kesepakatan yang diatur dalam Kontrak Karya Freeport yang hanya sebesar 1%.
 
Namun, sikap perusahaan AS itu tampaknya melunak, karena Freeport sudah bersedia duduk bersama dengan pemerintah dalam membicarakan renegosiasi kontrak karya. Demikian halnya PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang juga siap berunding dengan pemerintah untuk merenegosiasi kontrak pertambangan.
 
Penerimaan pertambangan terlalu kecil
Lembaga kajian pertambangan ReforMiner Institute menyatakan bahwa penerimaan negara dari pertambangan umum hanya sekitar 23,2% dari penerimaan kotor perusahaan. Artinya, penerimaan ini jauh lebih kecil dibandingkan dari sektor minyak dan gas yang mencapai 55%-60%.
 
Dalam laporan bulanan Policy Analysis, ReforMiner membuat kalkulasi, jika tingkat royalti 5% dari harga jual tambang atau penerimaan kotor, biaya produksi tambang 30%, dan Pajak Penghasilan Badan mengacu pada Undang-Undang Perpajakan, penerimaan negara dari pertambangan umum hanya 23,2%.
 
Mengenai besaran royalti yang akan direnegosiasikan, pemerintah seharusnya tak perlu ragu. Sebab, pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya bisa menjadi dasar kuat bagi pemerintah. Pasal itu berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.(api)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar