JAKARTA : Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyoroti empat hal penting yang berkembang secara nasional belakangan ini dan memberi dampak bagi industri pertambangan.
Ketua Umum Perhapi Irwandy Arif mengatakan keempat hal itu harus segera dipecahkan bersama. Pertama, masalah rekonsiliasi pertambangan. Per 27 Februari 2012, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) saat ini sudah mencapai 10.235 dan baru 4.151 IUP yang clean and clear, yang kebanyakannya adalah tambang batu bara.
“Dari jumlah ini masih banyak ribuan pelaku usaha tambang yang sebagian besar belum mempunyai pengetahuan industri pertambangan,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin, 12 Maret 2012.
Kedua, masalah konflik sosial. Perhapi menyoroti bahwa saat ini tambang lebih banyak muncul image negatif-nya dalam pemberitaan, dibandingkan dengan image positif-nya. Namun hingga hari ini, belum pernah dilakukan riset terhadap sebab, dinamika, dan solusi secara nasional terkait konflik sosial akibat tambang. Oleh sebab itu, diperlukan riset yang tuntas dalam masalah ini.
Ketiga, masalah rekonsiliasi cadangan batu bara. Menurut Irwandy, batu bara harus dilihat sebagai sumber energi, bukan sekedar komoditas perdagangan. Selain itu, perhitungan yang saat ini menggunakan ton, semestinya mulai diubah menjadi perhitungan dalam kilokalori per kg (KKal/Kg). "Batu bara saat ini lebih banyak dipandang sebagai revenue driver.
Ketua Indonesian Coal Society Singgih Widagdo mengatakan batu bara harus ditempatkan sebagai industri energi nasional. Saat pengelolaan batu bara diserahkan kepada daerah, kini muncul ribuan tambang baru sehingga batu bara menjadi susah dikontrol.
Terakhir, masalah kebijakan nilai tambah untuk mineral dan batu bara. Irwandy mengatakan nilai tambah saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, meski ada sejumlah pihak yang mempersoalkan Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.(msb)
Ketua Umum Perhapi Irwandy Arif mengatakan keempat hal itu harus segera dipecahkan bersama. Pertama, masalah rekonsiliasi pertambangan. Per 27 Februari 2012, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) saat ini sudah mencapai 10.235 dan baru 4.151 IUP yang clean and clear, yang kebanyakannya adalah tambang batu bara.
“Dari jumlah ini masih banyak ribuan pelaku usaha tambang yang sebagian besar belum mempunyai pengetahuan industri pertambangan,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin, 12 Maret 2012.
Kedua, masalah konflik sosial. Perhapi menyoroti bahwa saat ini tambang lebih banyak muncul image negatif-nya dalam pemberitaan, dibandingkan dengan image positif-nya. Namun hingga hari ini, belum pernah dilakukan riset terhadap sebab, dinamika, dan solusi secara nasional terkait konflik sosial akibat tambang. Oleh sebab itu, diperlukan riset yang tuntas dalam masalah ini.
Ketiga, masalah rekonsiliasi cadangan batu bara. Menurut Irwandy, batu bara harus dilihat sebagai sumber energi, bukan sekedar komoditas perdagangan. Selain itu, perhitungan yang saat ini menggunakan ton, semestinya mulai diubah menjadi perhitungan dalam kilokalori per kg (KKal/Kg). "Batu bara saat ini lebih banyak dipandang sebagai revenue driver.
Ketua Indonesian Coal Society Singgih Widagdo mengatakan batu bara harus ditempatkan sebagai industri energi nasional. Saat pengelolaan batu bara diserahkan kepada daerah, kini muncul ribuan tambang baru sehingga batu bara menjadi susah dikontrol.
Terakhir, masalah kebijakan nilai tambah untuk mineral dan batu bara. Irwandy mengatakan nilai tambah saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, meski ada sejumlah pihak yang mempersoalkan Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.(msb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar