Selasa, 03 Januari 2012

Begini Polisi Akhirnya Hamburkan Peluru di Bima

04 Januari 2012,Kompas

TEMPO.CO:- Suasana Pelabuhan Sape, Sabtu 24 Desember pagi masih diliputi ketegangan. Seratusan warga dari Kecamatan Sape, Kecamatan Langgudu, dan Kecamatan Lambu masih memblokir pelabuhan yang menjadi pintu masuk jalur laut menuju Bima.

Massa berkukuh tidak akan mundur sebelum Bupati Bima mencabut Surat Keputusan Nomor 188/45/357/004/2010 tentang izin eksplorasi PT Sumber Mineral Nusantara. Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh memastikan warga bertahan melakukan pemblokiran yang sudah berlangsung sejak 19 Desember 2011 warga tidak melakukan tindakan anarkis. “Warga sama sekali tidak berniat melakukan perusakan dan menyerang aparat,” ujar Ridha di kantornya, Selasa, 3 Januari 2011.

Sabtu pagi itu, sebelum kerusuhan pecah sekitar pukul 06.00 WITA kepolisian pun melakukan gelar pasukan yang dipimpin Kepala Polresta Bima, AKBP Kumbul. Pasukan terdiri dari 897 pasukan yang berasal dari Polresta Bima, Polres Dompu, Polres Sumbawa, Polres Bima, dan Polres Sumbawa Barat.

Pasukan pun menempati 9 titik yang sudah ditentukan oleh polresta. Di antaranya dua kompi di gerbang utama menuju pelabuhan Sape, satu kompi di jalan jalan menunju Lambu, dan dua kompi di jalan utama desa.

Saat akan masuk gerbang utama pelabuhan yang diblokir massa, Kapolresta Bima kembali melakukan negosiasi dengan pendemo. Namun Negosiasi tidak membuahkan hasil karena massa meminta Bupati segera mengeluarkan bukti tertulis pencabutan izin PT MSN. “Saat itulah Kapolresta melakukan pembukaan pintu gerbang secara paksa,” lanjut Ridha.

Menurut catatan Komnas saat polisi memaksa masuk pelabuhan pada sekitar pukul 07.00 WITA itu, tidak ada perlawanan dari massa. Bahkan warga mengikuti perintah polisi untuk mundur, duduk dan meletakkan senjata. Namun saat masuk ke pelabuhan, Ridha menyebutkan langsung ada perintah dari Kapolresta memerintahkan pasukan agar kembali ke posisi masing-masing. “Ini artinya ada desain dan rencana,” lanjut Ridha.

Dalam tahap awal pembubaran massa, Komnas mengakui polisi sudah melakukan negosiasi. Saat masuk dan mengumpulkan massa di tengah pun polisi lebih mengutamakan penggunaan pasukan pengendali massa. Namun saat polisi mendakati kerumuman warga yang berkumpul dan menyerah di tengah pelabuhan tiba-tiba ada perintah dari Kapolresta Bima agar pasukan kembali ke posisi. Brimob pun langsung mengambil posisi paling depan menggantikan Dalmas.

Menurut Komnas, pergantian antara Dalmas dan Brimob yang terjadi pagi itu sangat tiba-tiba dan belum tepat. Pasalnya tidak ada tindakan represif yang dilakukan massa dan mengancam keselamatan polisi.

Kepala Divisi Monitoring dan Investigasi Komnas, Sriyana, menuturkan sesaat setelah pergantian formasi itulah seorang aktivis langsung naik ke mobil yang berisi sound system dan meneriakkan agar demonstran tidak maju dan menyerah. “Ok jangan maju, kita sudah terima kesepakatan, kita tinggal tunggu tertulis saja,” ujar Sriyana mengulang perkataan orator itu.

Melihat reaksi massa, brimob pun mengambil posisi maju sepuluh langkah. Massa pun panik. Si aktivis kembali mencoba menenangkan massa. “Tolong jangan maju, jangan maju, kita sudah terima kesepakatannya,” ujarnya. Pada saat bersamaan, brimob langsung menarik lelaki pemegang mikrofon hingga jatuh. “Karena orator ditarik ke bawah, massa pun kocar-kacir. Saat itulah massa ditangkap, dan dipopor senjata, dan disambut bunyi tembakan,” ujar Ridha.

Menurut Ridha saat membubarkan massa polisi melakukan tindakan kekerasan. Massa yang sudah menyerah tetap ditendang dan dipukul. Bahkan ada yang kepalanya dihantam dengan senjata. “Tindakan ini jelas ada perintah.”

Meski begitu, Komnas mencatat tidak ada korban tewas pada peristiwa pembubaran di pelabuhan. Dua korban tewas yang dari insiden pagi itu tertembak 700 meter dari pelabuhan. Mereka adalah Arif Rahman, 18 tahun, dan Syaiful 17 tahun. Arif tertembak saat melarikan diri dari pelabuhan, sedang Syaiful tertembak saat mencoba menolong Arif.

Atas tindakan represif yang dilakukan kepolisian, Komnas meminta Kapolresta Bima harus bertanggungjawab. Alasannya, saat peristiwa penembakan warga terjadi, dia bertindak sebagai penanggung jawab di lapangan. Kapolresta dinilai juga tidak melakukan pencegahan efektif untuk menghindari jatuhnya korban meninggal dan luka-luka.

Di sisi lain, Komnas mendesak Kapolri segera menindak tegas seluruh jajaran aparat yang terlibat. Kapolri juga harus segera melakukan penyelidikan independen terhadap seluruh aparat yang diduga melakukan pelanggaran HAM. "Selain sanksi administratif harus ada sanksi pidana bagi aparat yang terbukti melakukan tindakan melawan hukum."

IRA GUSLINA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar